Senin, 12 April 2010

Perancangan Pura Tanah Lot


Kawasan Pura Tanah Lot adalah kawasan suci, di dalamnya terdapat Pura Tanah Lot dan Pura Pakendungan yang merupakan Pura Dang Kahyangan. Tanah Lot sejak awal merupakan tempat persembahyangan umat Hindu, kemudian berkembang menjadi sebuah tempat wisata yang cukup digemari. Tumbuh pula kegiatan komersiai sebagai fasilitas penunjang pariwisata, seperti warung-warung, art shop, restoran, kafe dan sebagainya. Dengan adanya interaksi tersebut, masyarakat memiliki ketergantungan dan ikatan terhadap Tanah Lot. Ikatan yang terjadi untuk masing-masing individu berbeda, karena adanya perbedaan latar belakang interaksi. Respon atau cara menyikapi potensi dan permasalahan pada kawasan sangat beragam, karena adanya perbedaan kepentingan. Kondisi tersebut sangat potensial menimbulkan adanya konflik kepentingan, hal ini pula dapat menimbulkan pergeseran nilai kawasan, dan gangguan terhadap aktivitas persembahyangan.

Untuk mengantisipasi permasalahan konflik kepentingan dalam perkembangan kawasan, maka dilakukan perancangan kawasan Tanah Lot dengan mempertimbangkan place attachment. Sense of place kawasan suci sebagai tempat persembahyangan tetap dipertahankan, dan tetap dapat mengakomodasi kegiatan wisata dan komersial. Problem solving (pemecahan permasalahan) dengan pendekatan place attachment, diawali dengan problem seeking (penelusuran permasalahan), melalul proses analisa, sintesa dan evaluasi. Faktor ikatan (place attachment) terhadap Tanah Lot

dipelajari dari respon secara emosional, kognitif dan tingkah laku, oleh masyarakat terhadap potensi dan permasalahan Tanah Lot. Ditekankan pada penelusuran terhadap kebutuhan ruang oleh masing-masing pelaku kegiatan untuk mengetahui place depedence (ketergantungan pelaku aktivitas terhadap kawasan). Penelusuran terhadap makna emosional dan simbolis untuk mengetahui place identity (identitas tempat oleh pelaku aktivitas) yang juga menunjang ikatan terhadap Tanah Lot. Dilakukan tinjauan terhadap sejarah kawasan, lingkungan alam, identifikasi karakter fisik kawasan, identifikasi karakter individu yang melakukan interaksi, identifikasi pola interaksi, identifikasi pola aktivitas, identifikasi ruang-ruang interaksi, dan pemahaman mengenai tanggapan terhadap ruang-ruang interaksi. Rumusan permasalahan berupa gangguan pada interaksi yang dapat mempengaruhi ikatan (place attachment) terhadap Tanah Lot, diantisipasi dan dipecahkan dalam program, konsepsi dan gagasan rancangan, sehingga Tanah Lot dengan berbagai kemungkinan perkembangannya dapat berkelanjutan bail fisik (skala) ataupun non fisiknya (niskala).

Perancangan kawasan Tanah Lot dengan dasar pertimbangan place attachment, dilandasi dengan konsep rancangan antara lain: tata nilai, pencapaian, pemintakatan, sirkulasi; pola dan orientasi massa; bentuk, bahan dan penampilan massa; ruang luar, dan penataan prasarana lingkungan. Tata nilai dalam perancangan kawasan Tanah Lot; adalah penerapan konsep Tri Hita Karana, parahyangan sebagai inti kawasan yang terdiri dari gugusan Pura; palemahan sebagai ruang transisi dan ruang interaksi dengan alam lingkungan yang terdiri dari fasilitas penunjang kawasan; pawongan adalah desa sebagai ruang aktivitas keseharian dan bermukim bagi masyarakat. Kawasan suci ini dicapai dengan jalan utama yang disebut margi agung. Pemintakatan kawasan dibagi kedalam tiga zone yaitu zone inti yang mewadahi kegiatan persembahyanag, zone transisi yang membatasi zone inti dan zone penunjang, dan zone penunjang yang mewadahi fasilitas penunjang kawasan. Sirkulasi tinier terhadap sumbu imajiner dan organik terhadap kodisi fisik alami tapak. Pola dan orientasi masa linier terhadap sumbu imajiner kaja – kelod, dan natah (plaza) sebagai ruang pengikat antar massa.

Massa bangunan merupakan transformasi dari bangunan arsitektur tradisional bali, dengan bentuk sederhana, bahan dan tekstur alam, menggunakan ragam bias, ekspresi tri angga (tiga bagian dari badan; kepala, badan, dan kaki), skala manusiawai dan menyatu dengan alam. Ruang luar ditata dengan konsep taman dan hutan yadnya, selain memberi nilai estetika juga secara fungsi dapat menunjang kebutuhan persembahyangan. Prasarana lingkungan ditata agar dapat berfungsi optimal dan dapat menunjang terciptanya suasana religius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar